Rabu, 19 Oktober 2011

Sejarah Idul Adha

Sejarah Idul Adha (Diambil Dari Kisah Nabi Ibrahim Dengan Anaknya Nabi Ismail)
oleh Mengenang Sejarah Kegemilangan Dan Kekelaman Islam pada 11 November 2010 jam 22:00

Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.



“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.



Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar doaku".



Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”



Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).



Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.



Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.



Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.



Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.



“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.



“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.



Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.



“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.



“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.



“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.



“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.



“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.



Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”



“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.



“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.



Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.



Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).



“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).



Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.



Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”



“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.



Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”



Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.



Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”



Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.



Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”



Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)



Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).



Sumber: Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta

dengan beberapa perubahan



Selasa, 18 Oktober 2011

Ma'rifatullah

Ma'rifatullah
Oleh Syamsu Hilal

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka betapakah mereka dapat dipalingkan dari jalan yang benar” (QS Al-Ankabut: 61).

Pada sebuah pertandingan bola voli antar-RT memperingati hari proklamasi di bilangan Mampang Jaksel, seorang penonton, sebut saja Nico, merasa jengkel melihat ulah seorang bapak setengah baya yang menyandera bola voli dengan cara mendudukinya. Karuan beberapa jenak pertandingan sempat terhenti. Bola voli itu disandera akibat smash salah seorang pemain di seberang net tepat mengenai tubuh bapak yang dikenal bernama Haji Mugni.

Panitia hanya diam saja. Melihat pemandangan itu, Nico yang baru sebulan tinggal di sebuah rumah kontrakan dekat lapangan bola voli, langsung mendekati Haji Mugni yang belum dikenalnya. Nico mengumpat kesal sembari merebut bola voli yang diduduki Haji Mugni, lalu melemparkannya ke tengah lapangan. Pertandingan voli dilanjutkan kembali. Haji Mugni diam saja. Panitia salut dengan keberanian Nico. Setelah kejadian itu, salah seorang panitia membisikkan sesuatu ke telinga Nico. Aneh. Wajah Nico langsung pucat. Selidik punya selidik, rupanya panitia itu baru saja memberi tahu bahwa orang yang bernama Haji Mugni itu adalah seorang jawara yang disegani.

Begitulah Nico, lantaran belum mengenal (ma’rifah) Haji Mugni ia berani menentang Haji Mugni. Tapi setelah diperkenalkan oleh seseorang, siapa sesungguhnya Haji Mugni, muncullah rasa takutnya. Sama halnya dengan seorang anak balita yang “berani” menyentuh api atau memegang kabel listrik bertegangan tinggi. Tindakan itu sama sekali bukan tindakan berani, tapi sekali lagi karena faktor ketidaktahuan.

Dalam Islam, orang-orang yang “berani” melanggar ketentuan Allah, apakah itu shalat, puasa, atau zakat, dalam beberapa kasus hal itu disebabkan lantaran mereka belum ma’rifah kepada Allah dalam arti sesungguhnya. Ini mirip dengan kisah orang-orang kafir Quraisy pada masa Rasulullah Saw. yang apabila ditanyakan kepada mereka siapa yang menurunkan hujan dari langit dan yang menumbuhkan pepohonan dari bumi, mereka akan menjawab Allah. Tapi, bila mereka diperintahkan untuk meng-Esa-kan Allah dan menjauhi penyembahan berhala, mereka akan mengatakan bahwa penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah warisan budaya leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan.

Dalam Islam, mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah persoalan penting dan wajib, karena hal ini menyangkut aqidah.

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tempat tinggalmu” (QS Muhammad: 19).

Dalam ayat ini, Allah Swt. menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah) yang berarti wajib setiap Muslim untuk ma’rifah kepada Allah.

Kenal bukan hanya sekedar tahu. Kita tahu Bush Presiden Amerika Serikat, tapi kita baru kenal Bush setelah membaca dan melihat sepak terjangnya yang angkuh, arogan, hobi berperang, dan menindas umat Islam lewat televisi dan media cetak. Dari informasi-informasi tersebut, akhirnya kita menyimpulkan bahwa kezaliman Bush harus segera dihentikan. Inilah konsep ma’rifah yang sebenarnya. Ma’rifah adalah sebuah proses perpikir yang menghasilkan tindakan, baik berupa pernyataan maupun sikap.

Imam Ghazali menyatakan bahwa ma’rifah adalah sebuah tingkatan kecerdasan, yaitu mengumpulkan dua atau lebih informasi untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. Dan dari kesimpulan itulah muncul tindakan atau sikap. Bukan ma’rifah namanya bila apa yang diketahuinya tidak menghasilkan tindakan. Seseorang yang mengaku mengenal Allah, tapi tidak menghasilkan ketundukkan, ketaatan, loyalitas, dan penghambaan kepada Allah, sesungguhnya dia berlum ma’rifah kepada Allah.

Seseorang yang sedang jatuh cinta akan selalu memikirkan kecantikan, kebaikan, kelembutan, dan keramahan kekasihnya. Memikirkan hal-hal semacam itu sudah cukup membahagiakan hatinya. Selain itu, ia pun akan selalu menjaga jangan sampai kekasihnya benci dan menjauhi dirinya. Oleh karenanya, ia akan selalu tampil baik, sopan, ramah, murah hati, dan lembut di depan kekasihnya. Kalaupun ia memiliki sifat buruk, maka di hadapan kekasihnya ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan sifat-sufat buruk tersebut. Orang yang tengah jatuh cinta, biasanya selalu berusaha untuk menyelami sifat dan hobi sang kekasih dan sedapat mungkin berusaha untuk mendekatkan diri dengan sifat dan hobi kekasihnya itu, meskipun sebenarnya sifat dan hobinya berbeda.

Seperti itulah seharusnya orang yang mengaku ma’rifah kepada Allah. Mari kita resapi sebuah teladan tentang ma’rifatullah seorang anak manusia. Ketika menuruni sebuah lembah, Umar bin Khaththab yang ditemani salah seorang sahabatnya bertemu dengan seorang anak yang tengah menggembalakan ratusan ekor kambing milik tuannya. Umar ingin menguji ma’rifatullah anak tersebut dengan medesaknya agar mau menjual seekor saja dari kambing gembalaannya. “Juallah kepadaku salah seekor kambing yang engkau gembalakan itu,” pinta Umar. “Aku tidak berhak menjualnya, karena kambing-kambing itu milik tuanku,” jawab si penggembala. “Katakan saja pada tuanmu bahwa salah seekor kambing hilang diterkam srigala,” uji Umar. Dengan tegas si penggembala berkata, “Aku bisa saja mengatakan salah seekor kambing milik tuanku hilang atau mati diterkam srigala. Mungkin ia akan mempercayai alasanku, tapi bagaimana dengan Allah? Bukankah Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui?” Mendengar jawaban itu, Umar menangis terharu. Lalu beliau membebaskan penggembala itu dengan cara menebusnya.

Perhatikanlah! Orang yang ma’rifah kepada Allah meyakini bahwa setiap gerak langkahnya, ucapannya, dan getaran hatinya selalu diawasi oleh Allah, karena Allah Maha Melihat dan Maha Mengawasi. Semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di malam kelam tak luput dari pengawasan-Nya. Sehelai daun kering yang jatuh dari pohonnya di tengah hutan belantara tak lepas dari perhitungan-Nya. Sebutir debu yang diterbangkan angin di tengah padang pasir yang luas ada dalam kuasa-Nya. Deburan ombak di tengah samudera ada dalam genggaman-Nya.

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan segala apa yang keluar daripadanya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadannya. Dan Dia besamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa kamu kerjakan” (QS Al-Hadid: 4).

Dengan keyakinan seperti ini, mereka tidak berani melanggar perintah dan larangan Allah. Mereka tidak berani memakan harta yang bukan miliknya, mereka tidak berani berdusta, dan mereka tidak berani melangkah di luar garis yang telah ditetapkan oleh Allah. Setiap pelanggaran akan ada dosa, dan setiap dosa akan berujung pada siksa api neraka. Ma’rifatullah akan melahirkan rasa takut pada siksa Allah.

Renungkanlah! Orang yang mengenal Allah dengan pengenalan yang mendalam, yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia, tapi sering tidak disadari oleh manusia. Kita sering memuji-muji indahnya pemandangan alam yang terhampar di depan mata, tapi kita jarang memuji Pemberi mata kita. Kita sering kagum mendengar suara gemercik air mengalir dari bebatuan, tapi jarang sekali kita mengagumi kepada Pencipta telinga kita. Kita sering merasakan nikmatnya aneka makanan yang disajikan, tapi kita lupa pada Pemberi lidah.

Apa yang akan kita rasakan seandainya Allah me-nonfungsi-kan mata kita? Bagaimana sekiranya Allah mencabut pendengaran kita? Dan apa yang kita rasakan bila Allah menghilangkan daya kecap lidah kita? Semua itu mudah bagi Allah. Dan kita dapat menanyakan hal itu kepada orang-orang yang telah kehilangan nikmat-nikmat tersebut.

Ma’rifatullah semestinya melahirkan rasa cinta dan ketergantungan kepada Allah. Ma’rifatullah seharusnya memunculkan berbagai macam harapan, kiranya Allah mempertahankan dan menambah semua nikmat dan karunia yang telah Ia berikan.

Ma’rifah kepada Allah dapat kita lakukan dengan cara memikirkan dan menganilisis semua ciptaan Allah di jagat raya ini. Rasulullah Saw. bersabda, “Tafakkaruu fi khalqillaah, walaa tafakkaruu fi dzatillaah.” Pikirkanlah ciptaan-ciptaan Allah, dan jangan pikirkan tentang Dzat Allah. Al-Qur`an banyak mendorong kita untuk mendayagunakan potensi akal kita untuk mengenal Allah.

“Kami telah memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu adalah benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS Fushshilat: 53).

Sementara itu, kebodohan (jahl), kesombongan (takabbur), penyimpangan, dan kezaliman adalah penyakit-penyakit yang dapat menghambat seseorang untuk ma’rifah kepada Allah. Jauhilah sifat-sifat tersebut. Semoga Allah menjernihkan hati dan pikiran kita dan menjauhkan diri kita dari penyakit-penyakit yang dapat menghambat proses ma’rifah kita kepada Allah. Wallahu a’lam bishshawab.


Ma'rifatullah
Oleh Syamsu Hilal

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka betapakah mereka dapat dipalingkan dari jalan yang benar” (QS Al-Ankabut: 61).

pertandingan bola voli antar-RT
• Bola voli itu disandera akibat smash
• Haji Mugni.
• Nico yang baru sebulan tinggal
• panitia membisikkan
• belum mengenal (ma’rifah) Haji Mugni ia berani

 , orang-orang yang “berani” melanggar ketentuan Allah, apakah itu shalat
 kafir Quraisy pada masa Rasulullah Saw.
 menjawab Allah
 diperintahkan untuk meng-Esa-kan
 akan mengatakan bahwa warisan
 (ma’rifatullah) adalah persoalan penting dan wajib,
 “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tempat tinggalmu” (QS Muhammad: 19).

• menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah) yang berarti wajib

Imam Ghazali
ma’rifah a
sebuah tingkatan kecerdasan
mengumpulkan dua atau lebih informasi
untuk menghasilkan sebuah kesimpulan
Dan dari kesimpulan itulah muncul tindakan atau sikap
Bukan ma’rifah
yang mengaku mengenal Allah
ketundukkan, ketaatan, loyalitas, dan penghambaan kepada Allah
dia berlum ma’rifah kepada Allah