Selasa, 03 Februari 2009

Perjalanan seorang calon guru

Menjadi guru memang tidak mudah. Kalau Cuma sekedar mengajarkan ilmu yang kita miliki mungkin tidak begitu repot. Tapi semua tak sesederhana itu, karena mengajar juga melatih kesabaran dalam berinteraksi dengan murid. Sejak bangku SMU saya sudah melibatkan diri untuk aktivitas mengajar kecil-kecilan, jadi guru TPA. Hal itu berlanjut sampai saya kuliah.

Ketika lulus kuliah, sesuai latar belakang pendidikan saya informatika perbankan, maka saya pun melamar untuk bekerja di Bank. Tapi malang, karena ketika lulus dari sebuah akademi perbankan masa ketika bank-bank masih diliquidasi. Tapi saya tetap berusaha, untuk melamar di sebuah bank daerah. Namun belum sampai mengerjakan test masuk, sudah membuat hati saya hancur. Karena tes awal yang harus dilalui adalah tes tinggi badan. Tinggi badan saya yang 155 cm dinyatakan tidak proposional untuk dilanjutkan pada tes berikutnya. Dengan kata lain saya gagal, tidak bisa ikut seleksi. Dengan geram, saya pandangi ijasah saya. Inikah artinya saya lulus dengan predikat cumloude dari kampus perbankan saya ? kenapa tinggi tubuh yang menjadi jaminan bahwa seseorang bisa mengerjakan tugas / tidak.

Hari itu saya masih ingat, ingin sekali berteriak marah pada bank itu. Saya ingat ibu, yang saya tinggal karena demi tes ini. Ibu yang terbaring sakit, dan masuk kamar operasi. Saya sedih, marah. Apa artinya ilmu yang saya pelajari ya Allah ?

Kalau ingat hal itu, membuat saya bersyukur. Waktu itu Allah tidak menjadikan saya pegawai bank. Allah melindungi saya dari riba. Allah malah menuntun langkah kecil saya merantau dijakarta, dimulai dari tawaran mengajar TK dengan gaji 75 ribu. Sayapun bertahmid, dan tak henti untuk berikhtiar. Guru tetap saya anggap profesi sampingan. Saya tetap berobsesi bekerja dikantor / perusahaan.

Sampai panggilan datang dari sebuah perusahaan amerika. Menjadi staff produksi. Tak hentinya saya bertahmid, menjemput kemandirian. Hidup berdikari, menopang keperluan sendiri dan keluarga. Bismillah, saya awali hari itu. Bekerja di perusahaan memang penuh perjuangan, tubuh kita yang dinilai mesin. Hanya boleh berhenti bekerja ketika jam istirahat yang cuma 30 menit, untuk sholat dan makan.

Namun ada sesuatu yang mengusik saya, ketika mangantar seorang teman untuk kursus komputer di suatu lembaga pendidikan di kosambi jakbar. Saya teringat ijasah D3 Informatika perbankan saya, kenapa tidak coba melamar menjadi guru dilembaga itu. Toh, untuk ilmu komputer insya allah akan terasah kembali.

Akhirnya dengan bulat saya tinggalkan perusahaan yang telah memberi gaji lumayan buat saya. Saya putuskan untuk menjadi guru, dan apa yang terjadi ? Ternyata gaji saya hanya sepertiga dari gajji yang saya terima dari pabrik. Namun, bismillah, berilah rejeki yang berkah ya Allah.

Dari tempat kursus, saya beralih ke SMP formal. Dunia pendidikan pelan-pelan memasuki relung hati saya. Saya dan suami siap mewarnai jiwa-jiwa muda itu dengan kebaikan. Sampai akhirnya Allah memberi kesempatan saya untuk terjun pada pendidikan di sekolah islam terpadu.

Akhirnya, disinilah saya sekarang tanpa ijasah pendidikan, saya terus mengajar. Sampai akhirnya saya menyadari, menjadi pendidik tidak boleh berhenti untuk belajar. Saya lanjutkan studi saya S1 komputer. Saya jalani sambil mengajar. Subhanalllah. Ilmu itu terus mengalir. Saya teruskan ilmu pendidikan yang belum saya raih, di Akta 4.

Menjadi guru, tidak pernah terlintas menjadi sebuah cita-cita dari kecil. Namun, kehendak Allah telah menuntun saya untuk mengambil peran mulia itu. Saya sadar, saya tak kan pernah sempurna untuk menjadi guru, jadi saya harus terus belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar