Senin, 25 Mei 2009

My school, bagaimana memberi tanpa berhitung ?

Kejadian haru itu ada pada rapat kami dengan yayasan. Seorang guru terkasih kami, mengungkapkan curahan hatinya dalam rapat. Guru tersebut merasa sangat sedih, karena claim kesehatan yang diajukan, terbalas dengan kurang memadai, jauh dari nomilal yang dibayangkan. Guru tersebut, Bu uli, sudah 3 tahun menjadi guru. Memang pendidikan beliau masih D3, namun sekarang sedang menempuh S1. Bu uli, mengungkapkan kenapa jatah uang kesehatan dia berbeda dengan teman yang lain, dengan beban kerja dan masa kerja yang sama. Lalu beliau mendapat jawaban, bahwa ini karena beliau masih D3….!!

Hmmm kedengarannya….bagaimana ya…kalau pendidikan menjadi alasan perbedaan angka kesehatan. Padahal jam kerja sama….fisik telah mengajar seharian, dirumah ada anak menanti….hari libur yang buat istirahat, untuk kuliah demi mengejar gelar S1. Dengan keuangan yang ‘sangat mepet’, bu lia pun menggunakan tunjangan kesehatan untuk berobat. Tapi kenyataan yang diterima tak sesuai harapan….dengan beruarai air mata bu guru terkasih ini mencoba mencari ‘keadilan’. Kami pun ikut menitikkan airmata….ohh dilemma..seorang guru…pengorbanan yang diberikan tidak pernah berbanding dengan kesejahteraan yang ada. Papi pun terdiam,…dari raut wajah beliau..sangat sedih dan berkaca-kaca. Yah…seperti inilah yang dirasakan teman-teman…..

Sebenaranya apa yang dialami bu uli,….sudah banyak juga dialami teman-teman, bahkan lebih sedih lagi. Namun, hanya bu uli yang ‘berani’ mengungkapkan isi hatinya. Semoga ini menjadi catatatan perbaikan system pemberian tunjangan disekolah. Bahkan, terkadang teman-teman guru sudah mulai ‘apatis’. Menerima saja apapun yang diberikan…..yah kalau masih mau tinggal di sekolah ini, yah beginilah…kalau sudah tidak kuat ya….baru pergi…, tapi kepergian memang tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Masalah keadilan, kesejahteraan memang harus diungkapkan dengan terbuka. Agar tak ada terus prasangka berlama-lama…..

Seorang guru yang mengajar….mempunyai kenyamanan hati….dan fisik yang terawat dengan baik. Yang mendapatkan perhatian secara jasad, fikri, dan ruhy-nya, akan sanggup bertahan melewati masa-masa sulit.

Abata sebagai sebuah lembaga..memang mempunyai peraturan yang sudah baku. Namun, terkadang dalam menjalankan peraturan ‘kekakuan’ itu harus dikurangi ketika menghadapai kondisi dan kasus tertentu. Semoga cerita Bu uli bisa menjadi ibrah untuk kita semua. Amin

Laranya Uli,
29 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar